Rehabilitasi Sosial dan Tantangan Bagi Pecandu Narkotika di Masyarakat

dawan1

Penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang krusial bagi sebuah bangsa. Persoalan yang muncul memiliki dampak yang sangat masif bagi segala aspek kehidupan manusia. Masalah kesehatan bukan satu-satunya menjadi perhatian bagi kita terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika, namun juga dampak sosial terhadap penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu aspek yang tidak bisa disepelekan. Menurut data yang terhimpun oleh BNN sepanjang tahun 2020 lalu, BNN telah berhasil memetakan 92 jaringan sindikat narkotika. Sebanyak 88 jaringan sindikat telah berhasil diungkap di mana 14 di antaranya merupakan jaringan sindikat berskala internasional, dan setidaknya ada 27 Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dari seluruh Indonesia yang terlibat aktif dalam pengendalian narkotika dari dalam Lapas. Berangkat dari jaringan tersebut BNN berhasil mengungkap 806 kasus tindak pidana narkotika dengan total tersangka sebanyak 1247 orang. Berdasarkan jumlah ini, penyalahgunaan narkotika masih cukup tinggi di Indonesia. Untuk menekan semakin maraknya penyalahgunaan narkotika, pemerintah telah menempuh berbagai cara hingga penjeraan melalui proses hukum. Salah satu cara yang digunakan pemerintah untuk menekan penyalahgunaan narkotika adalah dengan Rehabilitasi Sosial.

Berdasarkan Undang-Undang nomor 35 tahun 2009, Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Namun pertanyaannya, apakah Rehabilitasi Sosial mampu menekan penyalahgunaan narkotika di masyarakat? Untuk menjawabnya, kita harus mengetahui apa saja yang tergolong dalam penyalahgunaan narkotika. Sesuai UU No. 35 tahun 2009, Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Pasal 35 UU Narkotika menjelaskan soal pengertian Peredaran Narkotika yakni meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan Narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari pengertian di atas, tidak dijelaskan secara gamblang mengenai pengedar narkotika, sehingga apabila memakai makna atau konotasi negatif yang ada pada masyarakat, maka pengedar narkoba merupakan bentuk penyalahgunaan narkotika untuk kepentingan komersil maupun bukan komersil yang bertentangan dengan ketentuan hukum atau ilegal. Hal ini berkaitan dengan Pasal 1 ayat 6 UU Narkotika yang menyebutkan bahwa Peredaran Gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika dan Prekursor Narkotika. Sedangkan Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.

Dari pengertian di atas, maka ada dua perbedaan mendasar mengenai Pengedar Narkotika dan Pecandu Narkotika. Selain itu, adapula Korban Penyalahgunaan Narkotika, yaitu seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Dalam amanat undang-undang, Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Untuk selanjutnya diatur dalam PERMENSOS No. 26 Tahun 2012 tentang Standar Rehabilitasi Sosial Korban Penyalahgunaan NAPZA.

Namun persoalan yang terjadi adalah mantan Pecandu Narkotika tidak selalu bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan ketika ia kembali ke masyarakat. Salah satu penyebab yang mempengaruhi sulitnya penyesuaian diri mantan Pecandu Narkotika dengan lingkungan adalah ketidakmampuan stakeholder maupun masyarakat luas dalam mengayomi dan mengawasi Pecandu Narkotika. Stigma masyarakat terhadap mantan Pecandu Narkotika yang terlanjur terbangun menyebabkan adanya atribut sosial yang dibangun dengan tujuan mendiskreditkan seorang individu atau kelompok mengenai penyalahgunaan narkotika. Hal ini ternyata telah terbangun di dalam masyarakat melalui proses internalisasi norma-norma sosial yang telah ada di masyarakat mengenai penentuan nilai baik dan buruknya suatu perilaku sosial. Masyarakat diduga terlanjur meyakini bahwa narkoba dan minuman keras adalah akar dari tindak kriminal, sehingga individu yang terlibat dalam penyalahgunaan narkoba maupun minuman keras adalah salah satu deviant behavior (perilaku menyimpang) yang akan merujuk pada stigma. Dampak yang terlihat adalah mantan Pecandu Narkotika teralienasi dalam proses integrasi sosialnya di dalam masyarakat.

Sebagai catatan, mantan Pecandu Narkotika tidak bisa dikatakan ‘sembuh’, karena sensasi zat adiktif akan terus teringat oleh mereka dan sewaktu-waktu bisa relapse jika tidak dapat mengendalikan dirinya dengan baik. Salah satu pemicu relapse adalah ‘momentum’ di mana pada waktu tertentu atau momen tertentu, Pecandu Narkotika akan teringat kembali momen penggunaan narkoba jika momentum tersebut terulang, seperti malam tahun baru, acara ulang tahun, dan yang lainnya. Sugesti untuk relapse adalah suatu penyakit yang tidak terlepas dari penyakit ketergantungan. Ketika mantan Pecandu Narkotika sulit untuk beradaptasi dengan masyarakat, maka sosialisasi nilai dan norma sulit untuk terinternalisasi oleh mereka yang menyebabkan mantan Pecandu Narkotika teralienasi dari masyarakat. Mereka yang teralienasi ini akan mencari jalan lain untuk tetap diakui keberadaannya. Sayangnya, kelompok sosial yang sangat mudah menerima mereka adalah kelompok sosial yang menoleransi nilai dan norma sama dengannya, yaitu kelompok sosial dengan riwayat atau bahkan masih terlibat dengan penyalahgunaan narkotika. Pergaulan atau interaksi intens dengan kelompok sosial semacam ini akan memperparah kondisi mantan Pecandu sehingga sulit sekali keluar dari lingkaran tersebut.

Tujuan Rehabilitasi Sosial adalah agar pecandu narkoba dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya di masyarakat. Rehabilitasi Sosial yang diadakan oleh berbagai lembaga sosial pemerintah maupun non-pemerintah sangat membantu dalam mengembalikan fungsi sosialnya di masyarakat. Namun harus dipahami bahwa tantangan sesungguhnya bagi mantan Pecandu Narkotika berada pada masyarakat. Dukungan berbagai pihak seperti keluarga dan edukasi yang tepat kepada masyarakat dan Pecandu Narkotika dapat memaksimalkan tercapainya tujuan Rehabilitasi Sosial tersebut. Stigma yang terbangun tentang Pecandu Narkotika di masyarakat patut untuk diminimalisir sehingga kondisi mantan Pecandu Narkotika dapat diterima di tengah masyarakat dan tidak mengalami diskriminasi. Mengembalikan fungsi sosial seorang mantan Pecandu Narkotika tidak serta merta menjadi tanggung jawabnya sendiri, sebab penekanan Rehabilitasi Sosial ada pada kata ‘sosial’ itu sendiri, di mana manusia adalah homo socius (makhluk sosial) yang berarti tidak dapat hidup sendiri dan senantiasa membutuhkan orang lain dalam aktivitasnya karena ia merupakan anggota masyarakat dan bagian dari masyarakat. Menyelamatkan mereka yang sulit lepas dari lingkaran narkotika adalah tanggung jawab bersama seluruh masyarakat dari lapisan terkecil sekalipun karena dengan demikian, kita dapat memutus rantai penyalahgunaan narkotika di masyarakat dan bahaya narkotika yang mengintai orang di sekitar kita bahkan keluarga.

(Dawan Pribadi/Pembimbing Kemasyarakatan Pertama_Bapas Ambon)

 


Cetak   E-mail