Legalitas dan Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana dan Andikpas di Masa Pandemi Covid-19 dari Perspektif Tujuan Pemidanaan

milza

Penyebaran Covid-19 yang sangat cepat berbanding terbalik dengan kapasitas Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia yang kelebihan kapasitas. Kondisi kelebihan kapasitas ini mendorong negara untuk membebaskan narapidana dan andikpas karena bagaimanapun negara harus tetap menjamin hak hidup masing-masing warga negaranya di tengah pandemi Covid-19 ini.

Dalam pelaksanaan pembebasan ini Kementerian Hukum dan Ham mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum Dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 43 Tahun 2021 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat pada masa pandemi Covid-19.

Peraturan ini memiliki syarat hanya telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana untuk Andikpas dan 2/3 (dua per tiga) bagi narapidana untuk pelaksanaan asimilasi yang dilaksanakan dirumah. Pembebasan bersyarat dan pemberian asimilasi pada narapidana dan andikpas ditengah pandemi Covid-19 tidak beralasan jika ditinjau dari perspektif pemidanaan. Masa hukuman yang tidak dijalani secara penuh mengakibatkan tujuan dari pemidanaan tersebut, yaitu pembinaan, perlindungan dan pemulihan kembali kepada keadaan semula tidak terimplementasi secara penuh.

Hal tersebut berpotensi mengakibatkan narapidana dan andikpas tersebut belum siap untuk berintegrasi dan berasimilasi kembali ke masyarakat. Terdapat program-program asimilasi yang tidak dilaksanakan dengan baik salah satunya adalah pelatihan skill dan keterampilan karena pembinaan Narapidana dan andik pas yang menjalani asimilasi hanya secara daring dan program pembinaan keterampilan yang awalnya tatap muka tidak terlaksana dengan baik.

Dampak Sosio-Yuridis yang timbul dari kebijakan pembebasan bersyarat dan pemberian asimilasi bagi narapidana dan andik setelah berada di masyarakat adalah pada narapidana itu sendiri dimana secara sosial dan yuridis harus bisa menyesuiaikan diri ditengah lingkungan masyarakat yang belum tentu menerima keberadaan mereka dan dampak sosial selanjutnya dihadapi oleh masyarakat dimana banyak yang belum bisa menerima secara terbuka karena resah bahwa narapidana hanya menjalani setengah dari hukumannya dan bisa melakukan tindak pidana kembali.

Menurut penulis, jika kebijakan ini dilihat sebagai salah satu strategi untuk mengurangi angka penyebaran Covid-19 di Lembaga Pemasyarakatan maka pemerintah tidak boleh serta merta meninggalkan aturan yang telah dibuat begitu saja setelah narapidana dan andikpas bebas. Pola pembinaan terhadap keterampilan narapidana perlu untuk diperhatikan dan diwujudkan guna mengupayakan dengan baik tujuan pemidanaan mengenai pemberian keterampilan terhadap narapidana dan andikpas dalam proses asimilasi dan sebaiknya pengawasan dan pembimbingan terhadap narapidana dan andikpas yang mendapatkan hak asimilasi dan integrasi dilakukan secara konsisten oleh Balai Pemasyarakatan dalam hal ini pembimbing kemasyarakatan dengan tujuan agar narapidana yang sudah bebas tidak lagi melakukan tindak pidana.

Disamping itu, pemerintah harus bisa membuat tindakan atau langkah selanjutnya dalam menyikapi dampak Sosio-Yuridis untuk keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat terlebih khusus korban tindak pidana sehingga narapidana dan andikpas mendapatkan penerimaan dari masyarakat.

(Milza Titaley, SH.,MH/Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda_Bapas Ambon)


Cetak   E-mail